infoselebb.my.id: Takdir yang Berbeda - INFO SELEB

Takdir yang Berbeda

Posting Komentar

"Gina gak dipercaya sama Allah, ya, Ma. Sampai sekarang belum dikasih anak juga. Beda sama Gita, sekarang lagi hamil anak ketiga," keluhku.


Mama mengelus punggungku. "Sabar, Nak. Tetap berprasangka baik pada Allah. Mungkin bisa jadi sebentar lagi kamu juga hamil."


"Kata Ustaz Azhar, salah satu cara agar terkabul keinginan punya anak, dengan banyak istighfar, Nak," timpal Papa.


Aku mengangguk, membenarkan nasihat Papa.   Aku pun pernah mendengar hal yang sama. Kini seperti kembali diingatkan.


Tiba di rumah, aku kembali merenungi diri. Mengingat banyak dosa yang telah kulakukan. Tak hanya perbuatan yang nyata dan tersembunyi, tetapi juga hati yang menyimpan iri. Ya, iri pada karier teman di kantor, pada kehidupan mereka yang terlihat lebih baik, dan pada Gita yang mudah sekali hamil. 


Belum lagi rasa sombong atas pencapaian karier dan melimpahnya hartaku dan Mas Fito. Dari empat bersaudara, akulah yang memiliki kehidupan paling baik. Rumah dan mobil mewah serta sebuah villa di Puncak menjadi aset berharga yang kami punya.


Astagfirullah ... ternyata aku punya banyak penyakit hati. 


Selama ini tak menyadari bahwa semua itu mungkin bisa menjadi penghambat anugerah anak dari-Nya. Padahal hasil pemeriksaan dokter, organ reproduksiku dan Mas Fito baik-baik saja. 


Aku mengajak Mas Fito untuk berubah. Lelaki yang menikahiku sepuluh tahun lalu itu mendengarkan apa yang kukatakan. Dia pun ikut mawas diri.


"Mas setuju, Dek. Kita harus berubah jadi baik. Banyak-banyak minta ampunan pada Allah. Semoga setelah itu, Allah berkenan memberikan anak untuk kita."


Mas Fito merangkulku yang berurai air mata.


Sejak itu, aku dan Mas Fito berubah. Tak lagi menjadi pribadi yang sombong akan apa yang dimiliki. Tak lagi iri dengan apa yang orang lain punya. Kami berusaha membersihkan hati yang telah lama bernoda.


Kami juga rutin menyantuni anak yatim setiap bulan. Tak sayang untuk mengajak para keponakan untuk bermain di villa dan membelikan mereka mainan. Tentu saja termasuk kedua anak Gita.


**RF**


"Mas, aku positif," ucapku sambil menunjukkan test pack.


"Alhamdulillah, ya, Allah." Mas Fito langsung sujud syukur.


Aku begitu terharu. Baru dua bulan perubahan yang kami lakukan, Allah begitu cepat mengabulkan keinginan kami.


Aku langsung mengabarkan berita baik ini pada Mama dan Papa. Keduanya begitu bahagia mendengarnya. Kedua kakakku dan Gita pun tak luput mendapat kabar gembira ini.


"Berarti kita hamilnya cuma selisih dua bulan, Kak. Nanti anak kita bakal seumuran." Gita terkekeh.


"Kalau gak temenan, jangan-jangan jadi temen berantem dan saingan," timpalku dengan nada bercanda.


Kami pun tertawa bahagia.


Kehamilan pertama ini kujalani dengan baik. Trimester pertama yang memayahkan berhasil kulalui dengan baik. Meskipun sempat dirawat tiga hari di rumah sakit, aku berusaha tetap kuat.


Bulan demi bulan tak terasa berlalu cepat. Perutku semakin membesar. Mobilitasku pun terbatas, tak lagi leluasa banyak bergerak. Tepat di bulan ketujuh, aku memutuskan keluar pekerjaan. Mas Fito sangat mendukung keputusan itu.


Namun, ketentuan Allah tak selalu seiring sejalan dengan rencana manusia.


Hari dimana Gita melahirkan, aku masuk IGD di rumah sakit yang sama. Sebuah mobil menabrakku saat menyeberang jalan, selepas berbelanja di sebuah mal. Tubuhku terpelanting ke bahu jalan dengan posisi perut terbentur cukup keras.


"Mas ... gimana keputusan dokter? Kondisi bayi kita baik-baik aja, kan?" tanyaku.


"Kamu harus operasi, Dek. Yang tegar, ya," jawabnya sambil mengelus kepalaku.


**RF**


"Bayi kita mana, Mas?" tanyaku sesaat setelah siuman. 


Mata Mas Fito terlihat merah. "Bayi kita tak selamat. Allah lebih sayang dia, Dek. Tabah, ya."


Aku menangis histeris. "Gak mungkin, Mas. Pas di ambulans, dia masih gerak. Aku bisa rasain, kok."


Mas Fito memelukku erat. "Istighfar, Dek. Innalillahi wa inna ilaihi roji'un."


Ya Allah ... ujian ini sungguh terasa berat untukku.


Aku menumpahkan segala rasa sedih di dada Mas Fito. Takdir-Nya telah ditetapkan. Aku harus menerima dengan lapang dada. 


Suara tangisan membangunkanku. Kulihat Mama tengah menimang bayi dan mencoba menenangkannya. 


"Bayi siapa, Ma?" tanyaku.


"Anaknya Gita, Nak," jawabnya dengan mata mengembun. 


"Trus Gita di mana? Kondisinya baik-baik aja, kan, Ma?" 


Mama duduk di kursi sebelah ranjang. "Gita gak bisa bertahan setelah pendarahan, Nak."


Ya Allah ... Engkau menguji keluargaku sekaligus dengan dua kali kehilangan.


**RF**


"Ini siapa?" tanyaku pada anak di hadapan sambil menunjuk dada.


"Ma-ma," jawabnya.


"Itu siapa?" Aku menunjuk pada Mas Fito.


"Pa-pa."


Aku memeluk dengan gemas bocah berambut keriting itu. "Alhamdulillah. Anak Mama pinter."


Mas Fito mengambil alih Hanan dari pelukanku, lalu menggendong dan mengayunnya. Dia memosisikan tubuh mungil itu terbang seperti pesawat. Tawa lucu keluar dari mulutnya. 


Rasa haru seketika mendera hati. Aku teringat Gita. Wajah Hanan sangat mirip dengan adik bungsuku itu. Hanan menjadi pengganti putraku yang lebih disayang oleh-Nya.


Kota Tasik, 25 Januari 2021

Setor Mbak Dewi Zhafirah Syakur

Related Posts

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter