infoselebb.my.id: Lalai - INFO SELEB

Lalai

Posting Komentar

Adik Kakak


Namaku Mawar, bukan nama samaran. 


Kata Bapak, ia sengaja memberiku nama Mawar karena aku adalah anak perempuan--yang harus memiliki duri seperti mawar. Agar ketika dewasa nanti, para pemuda harus berpikir seribu kali jika hendak mendekat. Kalau pun ingin memetik, pastikan ia pemuda yang lulus seleksi alam, jika tidak, maka ia harus siap terluka dan berdarah. 


Aku memiliki adik lelaki. Oleh Bapak ia diberi nama Hamzah. Mirip nama paman Nabi yang dijuluki singa padang pasir. 


"Mengapa diberi nama itu, Bapak?" tanyaku suatu waktu. 


"Supaya dia jadi lelaki tangguh yang kelak menjagamu." 


Aku terharu dengan mata memanas dan tenggorokan yang terasa ingin meledak. Aku lantas melirik adik lelakiku itu yang tengah melahap nasi bungkus yang dibawa Bapak. 


Hamzah makan dengan rakus. Mulutnya penuh, sebab nasi-nasi itu bahkan belum tertelan sempurna, tapi sudah ia jejalkan lagi ke mulutnya. Seperti orang jarang makan saja. Ah, kami memang jarang makan. Bahkan, sering kali tidur malam dalam kondisi perut panas dan melilit. 


Meski demikian indah dan gagahnya nama kami, tapi para tetangga kerap menjadikannya bahan guyonan. Bukan hanya nama, perihal pendidikan pun--yang selalu ditekankan Bapak pada kami--selalu mereka ejek.


"Untuk apa sekolah, kalau ujung-ujungnya jadi pemulung juga," ejek salah seorang lelaki yang usianya terlihat sepantaran Bapak.


Lelaki itu benar. Sekolah dan hidup sama-sama susah untuk dilalui. Namun, hidup tentu berbeda dengan sekolah. Dalam hidup tidak ada pelajaran berhitung. Kau hanya perlu mendapat barang bekas sebanyak mungkin, maka perut akan terisi penuh setelah itu. Tidak seperti sekolah. Dimana pelajaran hitung-hitungan sangat memusingkan. Matematika adalah salah satu yang paling aku dan Hamzah hindari. 


Hamzah menyukai pelajaran Olah Raga sebab ia suka berlari, sedang aku menggilai pelajaran Bahasa Indonesia. Sebab hanya di pelajaran itu aku bebas berimajinasi. Menulis karangan tentang keluarga bahagia dan lengkap. Tentang Ayah, tentang Ibu, rumah bersih, pakaian layak, serta tentang negara-negara dengan gedung pencakar langit. 


Kumpulan diksi yang kurangkai rasanya selalu membawaku terbang seperti burung. Mengangkasa, lalu melihat dunia-dunia luas lewat kepakan sayapku. 


.


Kami tinggal di komplek khusus pemulung yang semua masyarakatnya bekerja memunguti botol-botol bekas, gelas plastik, koran, dus, bahkan tak jarang--jika sampah sedang berkurang--para pemulung nakal akan masuk ke pagar orang dan mengambil sepeda yang teronggok di teras samping. 


"Kita boleh miskin, tapi jangan merendahkan diri dengan mencuri," kata Bapak suatu hari. 


.


Aku dan Hamzah menuntut ilmu di salah satu sekolah dasar negeri yang sangat sederhana, yang jaraknya--kata Bapak--3 kilomenter dari rumah. Hamzah duduk di kelas empat sedang aku kelas enam. 


Aku dan Hamzah punya kebiasaan menukar sepatu yang hanya ada sepasang, itu pun di dapat Bapak di tong sampah kala tengah memulung sebulan yang lalu. Ukurannya memang sedikit longgar di kaki kami. 


Hamzah sekolah pukul 7.00 pagi sampai pukul 11.00 siang, dan aku masuk pukul 12.00 sampai pukul 16.00.


.


Akhir januari, musim hujan harusnya telah selesai. Namun, langit seperti punya banyak cadangan air untuk dibagi-bagikan pada daerah yang kekeringan, hingga pada beberapa tempat tertentu air justru meluber ke mana-mana. Syukurnya, tempat tinggal kami selamat dari genangan dan kubangan, sebab berada pada dataran tinggi. 


Siang itu, hujan baru saja selesai. Matahari tiba-tiba terik. Silau lagi membuat gerah. Aku bergegas keluar rumah dengan sepasang sandal jepit lusuh. 

Hamzah pasti sudah menunggu, aku udah terlambat setengah jam dari waktu berangkat. 


"Kakak kenapa lama?' Hamzah cemberut, kedua alisnya bertaut. Pipinya yang gembil terlihat mengembung. 


Aku tertawa melihatnya, sebab teringat akan ekspresi Bapak jika tak suka. Hamzah pasti meniru itu semua dari Bapak. 


Usai berganti sepatu, aku memberikan sandal jepitku pada Hamzah. 


"Kalau mulungnya siang begini, dapat apa aku, Kak?" Hamzah rupanya masih menggerutu. 


Hamzah memang terbiasa memulung selepas jam sekolah. 


"Sudah sana pulang. Hati-hati, ya?" usirku, memilih  tak menanggapi ucapannya. 


Kami melepas bayangan masing-masing dengan lambaian, lalu berbalik saling memunggungi. 


"Hamzah itu suka lari-lari, Mawar. Jaga adikmu. Pastikan dia menyeberang jalanan dengan baik." Terngiang nasihat Bapak. 


Aku seketika tersadar, sebab telah melalaikan satu perintah. Aku berbalik, hendak memastikan Hamzah selamat hingga ke seberang jalan. Bersamaan dengan itu, decit rem disusul suara benda beruntun bertubrukan dengan tekanan sangat kuat memenuhi penglihatan juga pendengaranku. 


Aku ingat sekali, Hamzah terpental jauh. Rasanya, seisi langit seperti runtuh menimpaku.


.


Tahun-tahun berlalu dengan cepat. Aku duduk di kelas dua SMA sekarang. 


Kami masih tinggal di komplek pemulung itu. Aku masih berangkat sekolah seperti biasa. Tetangga masih mengejek seperti biasa. Bedanya, Bapak yang menjadi lebih pendiam, sebab kondisi tubuhnya juga semakin ringkih, dan Hamzah yang kehilangan kedua kakinya. 


"Kakak berangkat, ya?" pamitku. 


Hamzah mengangguk. Meski pipinya tak segembil dulu dan tubuhnya tak sebontot dulu, tapi raut wajahnya masih cemerlang seperti sebelum kecelakaan itu terjadi. 


Hamzah duduk di kursi roda, memangku sebuah buku dan pulpen yang digunakannya untuk menulis puisi.


"Kakak! "


"Ya?"


"Pulang malam lagi?" tanyanya. Entah mungkin hanya perasaanku saja, tapi tatapan itu mengisyaratkan rasa bersalah demikian dalam. 


"Iya. Doakan, ya, biar Kakak dapat tip banyak." 


"Hati-hati nyebrangnya." Hamzah tersenyum. 


Aku mengangguk. Tentu saja, Hamzah. Kakak pernah lalai menjagamu, kini Kakak tidak ingin lalai menjaga diri sendiri. Meski pada akhirnya Kakak tak lagi berduri seperti yang kerap dibanggakan Bapak. 


Tidak jauh dari gang, sebuah mobil mewah terparkir. Tanpa membuka kaca pun, aku tahu siapa di dalamnya. Dia lelaki tua yang membeli duri mawar milikku. 


Aku mengedar pandangan sebelum masuk ke dalam mobil. Jangan sampai tetangga yang sering kali mencibir Bapak melihatku.

 

Hidup bukan lagi tentang Matematika semata, tapi cakupannya menjadi lebih luas, tentang kami akan makan apa hari ini, tentang Bapak yang harus minum obat, serta tentang Hamzah yang tetap harus belajar meski hanya dengan membaca buku-buku yang rutin kubelikan tiap bulan. 


Aku memakai alasan bekerja paruh waktu di kafe pada Bapak dan Hamzah, agar keduanya tak curiga pada aktifitasku yang kerap pulang malam


Aku memang kehilangan duri, tapi setidaknya tak merendahkan diri karena mencuri. Perkara jual diri, biar aku terperangkap sendiri. 


Selesai. 


Tengkyu minmod. 

sila krisan

Related Posts

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter