infoselebb.my.id: Kearifan Lokal - INFO SELEB

Kearifan Lokal

Posting Komentar

“Haduh, Maira. Jangan masuk ke dapur, udah di sana aja. Tinggal bilang mau apa, gak usah blusukan ke dapur, nanti gosong,” ucap ibu sambil mendorong tubuhku. Padahal, aku hanya ingin mengambil keripik singkong yang sedang digoreng oleh para tetangga untuk hajatan pesta pernikahanku, empat hari mendatang. 


Ya, akhirnya hari bahagia itu datang menghampiri. Penantian selama dua tahun terakhir, terjawab oleh sebuah lamaran seorang pria, tetangga desa. Dia memang bukan kekasihku, kenalan pun baru sekitar dua bulan, tapi ternyata jodoh menunjukkan jalannya sendiri. Ia hadir kala hati ini mencoba ikhlas, melepaskan Dio--mantan kekasihku—menikah dengan wanita lain. Sakit? Tentu saja. Menjaga jodoh orang selama empat tahun tanpa dipungut biaya dan disayang pula. Lalu ujungnya, patah hati karena dia memilih pergi. Meninggalkan luka dalam hati. Ah, pelajaran, agar tak lagi membuang waktu dengan berpacaran. Lebih banyak sisi negatif ketimbang positifnya.


“Ibu, kenapa, sih, aku gak boleh masuk dapur? Kan, cuma mau ambil makanan doang,” gerutuku.


“Eh, ini calon pengantin kalo dibilangin ngeyel, ya. Pamali, gosong nanti. Gak manglingi kalo dirias. Gendruwon, ireng. Wis, duduk manis aja di depan. Gak usah masuk-masuk ke dapur lagi. Minta tolong yang lain aja kalo ada yang mau diambil. Sama satu lagi, jangan makan pake sayur berkuah. Ambil lauknya aja. Nanti hujan pas hajatan, repot,” terang Ibu panjang lebar.


“Hadeh, Ibu. Gitu amat, sih.”


“Eh, gak usah mbantah. Manuto. Kita wong Jowo, harus njawani. Melu adat dan tradisi. Wis, ibu mau bantuin di dapur lagi. Kamu di sini aja.”


“Iya, Bu,” sahutku sambil merogoh HP di kantong rok.


“Eh, eh, mau ngapain itu? Hayo, jangan lupa. Gak boleh telepon atau smsan sama Ilham, yah. Kamu lagi dipingit," imbuhnya lagi.


“Ya ampun, Ibu. Iya, iya. Wong aku mau WA Rani, kok. Kemarin belum aku kasih undangan.”


Hmmmm, ternyata tak segampang yang kukira. Adat istiadat di daerahku masih mengatur banyak sekali tata cara pelaksanaan sebuah hajatan. Dari mulai pernak-pernik khas ala mitos zaman dulu, hingga tradisi pingit dan beberapa pantangan yang mau tak mau wajib dijalankan.


 Ya, kata ibu, anggap saja semua demi kebaikan. Niat yang baik akan berbuah baik juga, begitu terangnya kala aku bertanya. Tak ada yang salah memang, hanya saja di zaman era modern seperti ini, sudah banyak yang meninggalkan kebudayaan itu. Selain tergerus arus, juga karena minimnya para tetua yang paham akan seluk-beluk hal ini. Anak muda zaman sekarang? Ah, jangan ditanya. Kebanyakan sepertiku. Awam dan abai.


Jenuh menunggu, akhirnya aku ikut membantu para tetangga yang sedang menata beberapa kursi dan taplak meja untuk menerima tamu. Sudah jadi hal biasa, bila ada yang hajatan, warga bahu-membahu saling bergantian menyiapkan. 'Mendarat' istilahnya. Ini berlaku timbal balik, jadi akan jadi tanggung jawab yang  panjang. Pasti akan ada bagian kita suatu saat untuk membantu mereka.


Semua disusun serapi mungkin. Acara memang tak digelar di gedung, melainkan di rumah kami, sebagai mempelai wanita. Selain karena lebih hemat, ini pun menjadi kewajiban. Ya, pemilik anak perempuan biasanya yang mengadakan ‘mantu’ dan bertugas menerima pinangan sang calon mempelai pria.


Proses ini pun tak bisa berlangsung cepat, perlu penentuan hari dan tanggal yang harus menggunakan hitungan ‘weton’ sebagai patokan, juga harus menyamakan ‘nas’ atau hari pantangan bagi masing-masing keluarga yang akan berbesan. Hitungan ini menggunakan angka dan kalender Jawa kuno. Tak sembarang orang yang bisa menghitung, hanya yang dianggap berilmu dan ‘sepuh’ yang membantu mencari waktu yang tepat. Rumit? Ya begitu yang kulihat. Namun, demi cintaku padanya, apa pun akan kulalui. Eaaak.


****


Akhirnya, saat yang ditunggu pun tiba. Penghulu datang dan calon mempelai pria pun telah hadir dengan diiringi banyak sanak-saudara. Mereka dipersilakan duduk sambil menunggu prosesi digelar. Aku yang sejak subuh telah dipoles oleh sang perias pengantin pun, hampir siap. Hanya tinggal memasang beberapa aksesoris di kepala.


 Konde dan sasak tinggi, ukiran tinta hitam berbentuk segitiga di kening, kebaya jadul warna hitam dengan bawahan jarik lurik, ditambah anyaman bunga melati segar yang tersemat di konde, menjulur dari samping pundakku hingga sebatas pinggang. Make up tebal jelas menempel di wajah ini. Ah, aku jadi penasaran, seperti apa penampilanku kini? Pasti cantik dan manglingi.


 Aku berjalan ke arah lemari yang terdapat kaca besar di pintunya. Sekadar ingin melihat hasil karya sang perias yang konon terkenal handal di kampung kami. Meski bukan dengan alat yang canggih, tapi tak diragukan kemampuannya, sudah banyak makan asam garam dunia periasan pengantin. Begitu yang kudengar dari beberapa orang.  


Namun, belum sampai di tempat yang kutuju, sang perias sedikit memekik memanggil.


“Mbaaak!” Ia terlihat tergesa saat mendekat.


“Walah Mbak, ampun ngoco, nggih. Mboten pareng. Mengke mawon ngocone,” ucapnya sambil menarik tubuhku menjauh dari kaca itu. 


Aku mngerutkan kening. Heran. Tentu saja. Mengapa tak boleh? Masih ada mitoskah?


 ( "Walah Mbak, jangan bercermin, ya. Gak boleh. Nanti aja lagi.")


“Kengeng nopo to, Bu?” tanyaku.("Kenapa, sih, Bu?")


“Mengke wonten sing nempel, Mbak. Mpun, mboten sah, ngoco. Sampun ayu, kok. Ningali teng foto mawon mengke, nggeh,” jawabnya.


(Nanti ada yang nempel, Mbak. Dah, gak pwrlu ngaca. Dah cakep, kok. Lihat dari hasil foto saja, ya, nanti,")


Ah, si ibu, apa juga yang mau menempel. Entahlah. Tak ingin mendebatkan hal itu, aku hanya menurut, hingga tak lama, Ayah masuk ke kamar dan tersenyum menatap ke arah kami.


“Sampun bakdo, Bu?” tanya ayah pada sang perias.


 ("Sudah selesai, Bu?")


“Sekedap, Pak. Kantun ngangge sendal niki. Entosi mawon, mengke kulo sanjangi meleh.”


 (" Sebentar, Pak. Tinggal pakai sendal ini. Tunggu saja, ya. Nanti saya kasih tahu bapak.")


“Oh, nggih. Sampun dientosi kaleh Pak Naip, meniko.”


("Oh, ya. Sudah ditunggu pak penghulu itu.")


“Nggih, Pak. Gangsal menit malih, Nggih.”


 Ayah, berlalu meninggalkan kamar dan sang perias kembali melanjutkan pekerjaannya. Tusuk konde yang belum tersemat di sanggul pun, ia pasang dengan segera.


“Monggo, Mbak, niki diengge. Gentos mawon niku sendale,” ujarnya lembut. Ia menyodorkan sendal selop, berwarna hitam senada dengan kebaya, mirip sepatu keraton jaman dulu, yang sering kulihat di buku dongeng. Lalu, sekarang aku pun memakainya. Ah, si ibu tak tahu, aku mempersiapkan sendal ini jauh-jauh hari. Untuk menunjang penampilan sebagai pengantin, agar tampak sempurna. Sandal model wedges warna nude, yang cocok dengan kakiku yang mungil. Terpaksa tergantikan. Mboten pareng, katanya.


 Setelah semua  selesai, Ayah kembali masuk dan menuntunku ke depan. Mengantar duduk di samping Mas Ilham. Dia terlihat ganteng, dengan beskap warna hitam dan topi ‘blangkon’ senada. Riasan mukanya pun tipis, manis. Ah, menawan, menambah kadar cintaku. Aku jadi tersipu malu. Eaaah, bila telah cinta melanda, semua akan terlihat sempurna.


Acara inti dimulai. Penghulu memberi instruksi, agar Mas Ilham menjabat tangan Ayah, sebagai waliku.


“Saya nikahkan dan saya kawinkan anak saya Humaira Aziza binti Subarja, dengan kamu Ilham Jayakusuma, dengan Mas kawin seperangkat alat sholat dan uang tunai sebesar 5 juta rupiah, dibayar tunai.”


“Saya terima nikah dan kawinnya Humaira Aziza binti Subarja, dengan mas kawin tersebut dibayar ... tunai.” 


“Alhamdullilah,” ucap para hadirin yang menyaksikan. Aku pun lega, mendengar Mas Ilham lancar mengucap ijab kabul dalam sekali helaan nafas. Sepertinya, ia memang sudah berlatih sebelumnya. Bahagia membuncah di dada. Apalagi, sudah seminggu ini aku tak bersua dengannya, walau hanya sekadar telepon. Menambah rasa mengharu biru.


Mungkin, pipi ini sudah bak tomat matang, merah merona menahan rasa malu kala ia menatap. Mas, jangan menatapku begitu, nanti aku jadi mau. Eaaah, mau berdekatan denganmu selalu. Lalu, penghulu memintaku untuk mencium tangan mempelai pria yang telah resmi menjadi suami. 


Sesi foto dan tukar cincin pun dilaksanakan. Semua terlihat antusias, senyum menghiasi setiap wajah sanak-saudara. Begini indahnya menuju jenjang awal hubungan halal yang direstui. Tak terkira rasanya. Bersyukur kami disatukan atas dasar saling cinta, walau tanpa proses pengenalan yang lama. Setidaknya, tak ada unsur paksaan sama sekali, murni dari hati masing-masing. Tentunya atas seizin Yang Maha Pencipta juga.


Acara belum usai, masih ada beberapa prosesi adat yang harus kami selesaikan. Mulanya kami berdua  kembali dipisahkan. Aku duduk di kursi pelaminan dan Mas Ilham diarak menuju luar ruangan. Melewati ‘tarup’ yang berdiri di depan pintu rumah. Ini menjadi salah  satu yang wajib ada, pertanda si empunya rumah mengadakan mantu.


 Alunan lagu gamelan, mengiringi sesi ‘temu manten’. Aku berjalan perlahan dari sisi dalam rumah, bersama Ayah dan Ibu. Pengiring serta ‘pengapit putri’ pun turut menemani sambil membawa buket janur yang dianyam mirip burung. Sedangkan Mas Ilham, berjalan dari arah luar, lengkap dengan pengapit putra dan keluarganya. Lalu, kami dipertemukan di tengah tarup, saling melempar beras kuning yang tadi sempat diberikan oleh perias pengantin. 


Kemudian, berlanjut dengan menginjak telur oleh Mas Ilham, kubasuh kakinya sembari berjongkok, menandakan bakti wanita di bawah perintah suami. Yang terakhir, kami berhadapan, saling menggenggam tangan satu sama lain, lalu perias beserta asistennya mengelilingi sambil menyiram air dari kendi sebayak tujuh kali. Konon, agar rumah tangga kami jauh dari mara bahaya, godaan ‘sawan’, hingga mengikat lebih kuat sampai maut menjemput. Ibarat doa, aku pun mengamininya.


Setelahnya semua selesai, kami kembali digiring berjalan menuju kursi pelaminan. Menggunakan kain panjang, tubuh kami dibalut, lalu kedua ujungnya ditarik oleh Ayah. Bak anak kecil yang digendong belakang, simbol bahwa kami masih bernaung di bawah pengawasan orang tua, utamanya Ayah sebagai wali. 


Duduk di kursi pengantin, Mas Ilham menggenggam tanganku. Ah, aku deg-degan, makin cinta. Prosesi sungkem, saling suap, dan tuang beras pun kami lewati dengan lancar. Air mata mengelir tak terbendung. Haru. Kini, mungkin aku bukan anak kecil yang manja dengan Ayah dan Ibu lagi. Harus bisa mandiri dan patuh pada suami. Mas Ilham mengusap lembut pipiku.


“Udah, jangan nangis, nanti luntur,” candanya.


“Iya, Mas. Aku Cuma haru, kok.”


“Oh, kirain. Sedih gak jadi nikah sama Dio,” jawabnya.


“Maaas,” ujarku sambil melotot dan menepuk bahunya pelan. Pelan, takut lecet, sayang.


“Hahah.” Ia hanya tertawa. Dasar, awas aja nanti malam, yah. Eh. Setelahnya, hanya tinggal acara santai, menyalami para tamu undangan dan menikmati menjadi ratu dan raja sehari.


Pukul 22.00 malam, semua acara telah usai. Panggung hiburan dan dekor rumah mulai dibenahi. Aku pun beranjak ke kamar untuk membersihkan badan. Melepas kebaya dan konde yang semakin terasa berat. Disusul Mas Ilham yang juga melepas pakaiannya. Ada rasa canggung. Kami yang sama-sama baru pertama kali berada dikamar berdua, jadi  salah tingkah.


“Aku ke kamar mandi dulu, ya, Mas,” pamitku.


“Iya, Dek. Silakan. Jangan lama-lama,” jawabnya. Ish, masih saja gombal. Aku kan, jadi malu.


 Segar rasanya telah berganti baju dan mandi. Saatnya tidur, merebahkan diri di atas ranjang nan empuk. Mas Ilham pun telah berganti kaus dan celana pendek. Baru saja akan naik ke ranjang, saat tiba-tiba pintu diketuk.


“Mairaa, Ilham, bukaaa!" teriaknya.

Kami saling memandang, lalu cepat aku menuju pintu untuk membuka.


“Budhe ....” 


“Eh, jangan dulu malam ini, ya. Pamali, besok aja. Tunda dulu semalam. Besok bangun sebelum subuh, mandi besar dulu. Jangan kesiangan. Nanti gosong mukanya. Ya, Maira! Bilang juga sama Ilham!"


“Iya, Budhe.” Ia pun berlalu. 

Aku menengok ke arah Mas Ilham yang ternyata telah berdiri di belakang. Ia tersenyum, lalu mengembuskan napas panjang. 


“Sabaaar,” katanya.


Ah, Budhe ... aku kan jadi ....


End.


Bekasi 2/3/20

Lebih baru Terlama

Related Posts

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter