infoselebb.my.id: Kata Adalah Doa - INFO SELEB

Kata Adalah Doa

Posting Komentar

Lingkungan di sekitar rumahku memang terbilang mengkhawatirkan. Anak-anak kecil pun berbahasa kasar, nama-nama binatang sudah biasa mereka katakan untuk mengumpat dan bercanda.


Bahkan lebih miris ketika orang tua juga berbahasa kasar dan kotor ketika memarahi anak-anaknya.


Saat itu usiaku sekitar tujuh belas tahun. Ada satu keluarga yang menarik, keluarga Bu Hasanah. Anak-anaknya seperti anak lain, Anto dan Arman terbawa suasana lingkungan yang terbiasa berbahasa kasar. Tetapi Bu Hasanah memiliki cara yang berbeda ketika marah.


Saat itu Anto bermain korek api dan petasan berbentuk kecil. Entah dari mana dia dan teman-temannya mendapatkan benda itu.


Duar, duar. Bapak-bapak yang sedang kumpul mengobrol di warung merasa kaget karena dilempari petasan. 


"Anto!" hardik Wak Bahar.


"Nih anak bandel amat, sih!" hardik Pak Bandi.


"Anaknya si Sanah bandel banget. Dasar anak maling" Bapak-bapak lain ikut mengumpat.


Merasa anaknya yang menjadi biang onar, Bu Sanah membawa anaknya masuk. Kudengar omelannya.


"Dasar anak saleh! Ga bisa diem, pulang!" 


Anto pulang sambil dimarahi ibunya, tetapi yang keluar bukan kata-kata kasar melainkan kata-kata yang baik seperti dasar saleh, pinter dan anak yang bageur pisan. 


"Anak bandel gitu disebut saleh? Ga salah?" Umpat Pak Bandi karena tadi sempat keselek kopi di warung karena terkejut dengan suara petasan. 


"Kamu apa-apaan, To?"


"Abisnya bapak-bapak bukannya salat ke musala malah ngobrol. Udah azan, Bu," jawabnya.


"Kamu sendiri juga malah main petasan."


"Tapi 'kan Anto udah niat," jawabnya.


Anto memang anak yang luar biasa aktif. Baru saja dimarahi, disuruh pulang dan mandi sore, kini dia sudah duduk di atas dahan pohon rambutan. Padahal pohon itu sangat tinggi, entah bagaimana dia bisa ada di situ. Sampah kulit rambutan berserakan di bawah pohonnya, membuat Wak Bahar marah-marah. Bagaimana tidak, buah-buahan itu sudah dia borongkan kepada penjual rambutan.


"Anak bandel, turun!" teriaknya.


"Ga, mau. Belum kenyang, Wak," jawab Anto dari atas sana.


"Sudah, turun! Bisa habis rambutanku," sungutnya.


"Ga bakal abis, Wak. Ntar aku sisain," jawab Anto santai.


"Sanah ... Sanah ...,"


Bu Sanah tergopoh-gopoh menghampiri.


"Kenapa, A?" Bu Hasanah adik terakhir Wak Bahar.


"Itu anakmu, bandelnya udah kelewat batas," ujarnya.


Pandangan Bu Hasanah mengikuti jari telunjuk Wak Bahar. Wajahnya terkejut, bagaimana mungkin anak usia sembilan tahun itu bisa memanjat pohon yang tinggi.


"Kamu ngapain, To?"


"Makan rambutan, Bu," jawabnya santai.


"Turun, To. Nanti jatuh."


"Ga mau, Bu. Wak Bahar pelit, harusnya punya pohon buah itu di bagikan buahnya meski sedikit ke tetangga sama saudara. Masa kita cuma dapet sampahnya," jawabnya cuek.


Tetangga yang tadinya kesal dengan kelakuan Anto, kini justru menahan senyum. Dalam hati membenarkan perkataan Anto. Selama ini tak pernah mereka merasakan buah rambutan itu. Wak Bahar selalu marah bila ada yang meminta.


"Ponakan sabl*ng, mau jadi apa kamu? Masih kecil saja sudah mencuri."


Merah kuping Bu Hasanah mendengar perkataan kakaknya. Kini dia mulai emosi.


"Anto turun! Kalo ga turun Ibu kunci pintu, biar kamu tidur di situ," Ancamnya.


Seorang Anto yang terkenal susah dinasihati itu rupanya tunduk pada ibunya. Dia turun, dengan cekatan.


"Bener-bener ponakan bandel! Persis bapaknya, suka mencuri," maki Wak Bahar.


Bu Hasanah tidak menjawab, tetapi jelas terlihat wajahnya memerah. Suaminya memang  sudah beberapa tahun di penjara karena kedapatan mencuri televisi dan uang di rumah Wak Bahar. Hal itu membuat Wak Bahar semakin benci dengan keponakan-keponakan dari adik bungsunya itu.


Padahal, menurut sebagian tetangga hal itu di sebabkan Bu Hasanah akan melahirkan anak keduanya, sedangkan saat itu tidak ada uang sama sekali untuk ke Bidan. Suaminya sudah mencoba meminjam baik-baik kepada kakak iparnya itu. Nyatanya Wak Bahar tidak mau, dengan alasan tidak ada barang jaminan. Tidak tega melihat istrinya kesakitan, akhirnya dia mencuri kemudian ditangkap keesokan harinya dengan bukti televisi yang dia gadaikan ke tetangga.


Karena emosi Bu Hasanah terlihat memukul bokong anaknya dengan gagang sapu sambil menggiringnya pulang. Satu hal yang istimewa menurutku, disaat seperti itu dia tetap bisa mengontrol kata-katanya.


"Dasar pinter, di suruh mengaji malah naik ke pohon rambutan!" omelnya.


Aku yang mengintip dari balik jendela merasa heran kenapa dia sebut anaknya pinter bukan nakal?


****


Pagi itu aku menemani Mama ke warung, kami bertemu Bu Hasanah.


"Assalamualaikum, Bu," sapa Mama.


"Wa alaikum salam," jawab Bu Hasanah sambil tersenyum.


" Mana Anto dan Arman? Ga ikut?" tanya Mama.


"Ngga, Bu. Mereka asik nonton televisi."


"Bu, anak perawanku ini diam-diam suka perhatikan Ibu," ujar Mama membuatku malu.


"Katanya Bu Sanah ini kalo marah sama anak bahasanya bagus. Biasanya 'kan kalo denger orang suka kasar bahasanya malah kadang keluar nama-nama penghuni kebun binatang."


"Ya ga boleh begitu, Bu. Kata-kata itu kan doa. Apalagi seorang Ibu, meski sedang marah usahakan kata-kata yang baik yang keluar."


Dalam hati aku membenarkan kata-kata Bu Sanah.


****


Dua puluh tahun berlalu. Aku mengingat kata-kata itu dan selalu menerapkannya dalam kehidupanku.


Kehidupan Bu Hasanah kini berbanding terbalik dengan dahulu. Rumahnya bagus dan nyaman. Arman sudah berusia dua puluh enam tahun dan Anto sudah berusia dua puluh sembilan tahun. Sepertinya mereka jadi orang yang berhasil. 


Menurut cerita yang kudengar dari mulut ke mulut, keduanya pintar hingga bisa kuliah dengan beasiswa. 


"Assalamualaikum, Teh."


Aku membukan pintu  dan sedikit bingung karena tidak mengenali tamu yang datang.


"Wa alaikum salam. Maaf, siapa ya?"


"Saya Anto, maaf mengganggu. Kedatangan saya ke sini menyampaikan amanat Ibu untuk mengundang Teteh syukuran. Insyaa Allah kami sekeluarga akan menunaikan ibadah haji dua minggu lagi," ujarnya.


"Insyaa Allah saya datang."


"Terima kasih sudah berkenan untuk hadir. Ini ada sedikit bingkisan dari Ibu."


Subhanallah, begitu santun tutur kata dan sikapnya. Berbeda sekali dengan masa kecilnya. 


Tentu hal ini karena didikan yang baik dari ibunya serta buah dari doa yang keluar dari mulut ibunya.


****


Bageur pisan = baik sekali (Bahasa Sunda)


Kak Nazilatul Munawaroh telat stor.

Related Posts

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter