infoselebb.my.id: Emakku Tersayang 3 - INFO SELEB

Emakku Tersayang 3

Posting Komentar

Aku memukul-mukul tangan ke udara bak pemain drum handal, diiringi kepala mengangguk-ngangguk juga kaki yang sedikit menghentak ke lantai. Dilengkapi satu headset menepel di telinga. Benar-benar seperti drummer asli. "Biarlah ... kurela, melepasmu ... meninggalkan aku." 


"Hanif!"


Samar terdengar suara Emak memanggil di luar. Itulah sebabnya aku suka memakai satu headset, takut tuan puteri memanggil.


"Apa, Mak?" Aku menjawab dari dalam kamar. Masih dengan kepala yang mengangguk-ngangguk. 


"Sini bentar kenapa! Kalo dipanggil itu langsung dateng. Jangan, 'apa Mak-apa Mak'? Tapi masih diem bae di kamar."


Segera aku berlari ke luar kamar sebelum kata mutiara Emak tambah banyak yang keluar. "Iya, Mak. Ada apa?"


"Anterin pesenan. Ini kotak warna putih pesenan Bu RT, kotak warna kuning pesenan dokter Laila." Emak menyerahkan dua kotak yang terasa hangat saat kupegang.


"Siap, Mak."


"Jangan sampe salah! Awas!"


Aku berjalan ke luar, menaiki motor, lalu melesat membelah jalanan. 


"Biarlah ... kurela ...." Sepanjang jalan aku terus bernyanyi hingga tanpa sadar sudah sampai di rumah Bu RT. Wah, kebetulan ada dokter Laila juga sedang ngobrol dengan Sintia–anak Bu RT.


"Eh, Aa Hanif, mau nganterin pesanan Mama, ya?" Sintia menyambutku dengan senyum ramah. Terlalu ramah malah hingga kedua matanya menyipit. Sedangkan senyuman dokter Laila terlihat tipis, tapi tetep kelihatan cantik.


Aku tersenyum, kikuk. Berhadapan dengan dua wanita cantik sekaligus membuat tubuhku merinding.


"Iya, sekalian pesanan dokter juga." Aku menyerahkan kotak kepada dokter Laila lebih dulu, kemudian kepada Sintia.


Tunggu! Benar apa enggak, ya? Halah! Sama saja lah. Sama-sama bakwan isinya.


Setelah itu aku pamit. Enggak langsung pulang ke rumah, tapi ke tempat tongkrongan seperti biasa.


***


Langit sudah benar-benar gelap ketika aku baru sampai di rumah. 


Emak yang melihatku turun dari motor langsung menghampiri dengan mata melotot. Instingku langsung bekerja, pasti ada yang enggak beres. 


"Mak, aku udah salat, kok, tadi ke masjid. Beneran." Aku menatap ngeri pada bola matanya yang hampir mau keluar.


"Kamu itu gimana, sih, Nif? Emak udah bilang jangan sampe ketuker, tapi masih aja salah. Kamu itu mikirin apa, sih, sampe bedain warna putih sama kuning aja salah?"


Aku melongo. Emak bicara apa? 


"Apanya yang ketuker, Mak? Anak Emak ini masih sama, masih Hanif yang ganteng dan saleh."


"Bukan kamu Hanif bin Ramli, tapi kotak pesenan Bu RT dan dokter Laila." Emak mulai berteriak enggak sabar.


Kotak?


"Kotak warna putih buat Bu RT, isinya bakwan tanpa udang. Sedangkan kotak warna kuning pake udang, itu pesenan dokter Laila. Gara-gara kamu si Sintia badannya jadi gatel merah-merah."


"Sintia yang gatel, kenapa aku yang disalahin, Mak?"


Emak mijit pelipis sambil meringis. "Sintia alergi udang, Dul Kenip. Lagian kenapa bisa ketuker, sih? Makanya kalo emak ngomong itu dengerin yang bener, biar nggak salah. Jangan ngangguk-ngangguk doang kayak orang cacingan."


"Aku ngangguk karena dengerin musik tadi, Mak, bukan cacingan," jawabku lirih sambil melipir mau masuk ke kamar, tapi langsung langsung dikasih kepalan tangan oleh Emak.


"Gusti ... punya anak udah gede tapi masih kayak bocah. Heh, Hanif! Abis ini kamu harus ke rumah Bu RT minta maaf, terus tanggung jawab sama Sintia."


"Aku gak ngapa-ngapain Sintia, Mak, ngapain tanggung jawab?"


"Jangan bikin emak tambah emosi! Emak masukin lagi ke dalam perut, tau rasa, kamu!"


Setor Kak Dylara Tama

Related Posts

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter