infoselebb.my.id: DILAMAR LELAKI USIL? - INFO SELEB

DILAMAR LELAKI USIL?

Posting Komentar

Aku tak sengaja bertemu Rian di minimarket dekat kompleks rumah. Namun, tidak seperti biasanya, kali ini Rian tidak sekedar menegur.


"Yaa ... Rayya!" Suara lelaki yang amat kukenal menghentikanku yang hampir membuka pintu minimarket untuk keluar.


"Ya?" ucapku setelah menoleh ke kanan, arah suara yang memanggil.  Lelaki putih bersih itu maju beberapa langkah mendekatiku, menjauh dari meja kasir, masih sambil memegang keranjang belanjaannya.


"Kudengar kamu kemarin ada yang melamar. Selamat ya." Ia yang berdiri tak lebih satu meter dariku itu mengucapkannya dengan ekspresi datar.


"Oh, itu ..., bukan lamaran. Memang pertemuan antara kedua belah pihak. Tapi ... belum tahap lamaran."


"Benarkah? Jadi ..., apakah akan berlanjut?" Masih dengan ekspresi yang sama.


"Entahlah. Belum diputuskan. Aku meminta waktu dua minggu untuk memantapkan pilihan." Ia terlihat mengangguk, namun matanya tampak berpikir. Mulutnya membuka, lalu ditutup seketika. Seolah ada yang ingin ia katakan. Begitu terus selama beberapa detik. Bahkan saat aku terpaksa bergeser selangkah ke kanan lebih mendekatinya--karena menghalangi orang yang mau masuk ke minimarket ini--ia tak menyadari. Tidak mungkin bergeser ke kiri, tubuhku mentok di sisi freezer ice cream.


"Eheemm."


"Ya?" Sedikit tersentak, ia menjawab.


"Kalo tidak ada yang mau dikatakan lagi, aku duluan." 


"Ah ..., ya."


Jika dipikir-pikir, aku heran dengan diri ini, mengapa harus menjelaskan tentang proses ta'aruf yang sedang kujalani? Lancar pula kusampaikan. Kemana rasa canggung yang biasanya datang? Apa aku masih mengharapkan sesuatu dari lelaki berbadan bidang dan tegap itu? Kugelengkan kepala kuat-kuat. Stop Rayya! Rasa itu telah usai.


Namun, baru saja aku keluar mendekati jalan besar depan minimarket, pemilik bola mata coklat itu menyusul, meninggalkan keranjang belanjaan--yang belum ia bayar--di lantai.


"Kabari aku jika kau menolaknya! Mungkin akan menjadi kesempatan emas bagiku untuk mendapatkan jodoh!" Ia sedikit berteriak saat kakinya telah sampai di teras minimarket.


"Ya?!" Hanya satu kata itu yang keluar dari mulutku. Kaget sekaligus bingung dengan ucapannya.


"Aku harap kamu menolaknya. Kabarin secepatnya, dan aku akan segera datang melamarmu." Ringan ia lontarkan pernyataan itu saat telah di dekatku, sambil kedua tangannya bersembunyi di kantong kanan-kiri celana krem selutut yang ia kenakan. Sontak aku mendongak, hingga mataku bersitatap dengan matanya. Segera kutundukkan pandangan.


What?! Tak ada angin tak ada hujan,  tak ada aba-aba, tak ada petunjuk akan perasaannya padaku, bagaimana mungkin kata-kata itu bisa keluar dari mulutnya? Iya sih, kami pernah saling menyukai, tapi tak sampai pacaran, dan itu dulu, duluuuu sekali. Jaman SD. Hanya cinta monyet yang tak ada arti. Itu pun tak terucap, hanya saling memendam rasa. Saling? Aku aja kali, Dia ...? Mungkin juga sih, tapi aku tidak yakin. Bahkan ia sempat berpacaran beberapa kali dengan gadis lain saat di SMP dan SMA. Walau akhirnya ia berhenti berpacaran setelah aku jelaskan kalau Islam tidak membenarkan hal itu.


"Rian, apa maksudnya?!" teriakku, memanggilnya yang telah masuk kembali ke minimarket. Menjauh dariku yang terdiam. Dibalik pintu kaca, ia hanya melambaikan tangan sambil tersenyum penuh arti, meninggalkanku yang sebenarnya masih ingin mendengarkan penjelasan detailnya. Karna aku tak ingin salah mengartikan kalimat demi kalimat yang ia lontarkan. Benarkah dulu ia memang menyukaiku dan masih memendam perasaan itu hingga kini?


Terkenang kisah usilnya saat belajar mengaji di TPA Masjid dekat rumah belasan tahun silam.


*** 


Sore itu, seperti biasanya aku dan anak-anak kompleks belajar mengaji dengan Ustadzah Hafsah di Taman Pendidikan Alquran Masjid Al-Hidayah. Masjid yang terletak di tengah-tengah kompleks perumahan.


Ketika Ustadzah Hafsah sedang mengajari satu-persatu santri yang maju ke depan menghadapnya, Rian—berumur sebelas tahun—yang sedang menunggu giliran di tempat duduk belakang sebelah kanan, tanpa aku ketahui melempar pensil ke arahku yang duduk di bagian kiri, dua baris di depannya. Saat itu aku berumur sepuluh tahun.


Aku terkejut dan menoleh ke belakang. Mengambil pensil yang baru saja mengenai pundakku. Lalu melihat ke sekeliling, mencari si pelaku. Tepat ketika netraku melihat Rian, kulihat ia cengar-cengir.


“Kembalikan pensilku.” Rian meminta padaku. Masih dengan tersenyum-senyum kecil.


Aku memasang wajah cemberut. Mengapa Rian melampar pensil ke arahku? Apa ia sedang menggodaku? Seneng sih ia goda. Upss! Apaan sih.


“Ayo, kembalikan pensilku!” Rian mengulang permintaannya. Atau lebih tepatnya memberi perintah.


“Ngapain harus aku balikin? Kamu yang sengaja ngelempar.” Aku pura-pura marah.


“Balikin, gak?” tegasnya lagi.


“Gak!”


Kulihat Mbak Lana—kakak perempuan Rian, berumur dua belas tahun—yang duduk di bagian belakang di barisan  yang sama denganku, menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah laku Rian. 


“Yang memegang pensilku, nanti akan menjadi istriku!” Rian mengatakannya dengan lantang dan mantap. Aku tersentak, mataku terbelalak.


“Hei, ngomong apa itu?!” Suara Ustadzah Hafsah terdengar dari arah depan.


Spontan aku melempar pensil ke arah Rian, bersamaan dengan teguran yang Ustadzah Hafsah lontarkan.


Rian kembali cengar-cengir dengan wajah tanpa dosa. Mbak Lana menepuk jidat dan menggeleng-gelengkan kepala.


Apa maksud Rian ngomong begitu? Masih kecil juga sudah ngomongin istri segala. Apa itu pertanda Rian suka sama aku? Ahh, gak mungkin. Bocah itu memang suka usil.


***


Ahhh, Rian emang sotoy! Tuh 'kan bikin aku jadi lalai aja, padahal mesti cepat-cepat pulang ke rumah. Ibuk sudah nungguin baking powder sama coklat bubuk untuk bikin bolu coklat kesukaan Rian. 


Ampun! Kenapa nama lelaki itu sih yang kesebut?! Dasar Rian emang bikin lalai, sampe ngomong aja salah. Eh, tapi, emang dia suka banget makan brownis. Waktu masih kecil, mamanya sering pesan ke ibuk. Hadeh! Apaan sih? Lagi-lagi Rian, ihhh! Bikin galau aja. Jadi bingung 'kan yakk mesti pilih siapa. Ya sudahlah, lupakan!

Related Posts

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter