infoselebb.my.id: CINTA MAYA - INFO SELEB

CINTA MAYA

Posting Komentar

Seperti halnya kecintaan pada senja, dunia menulis pun akhir-akhir ini tengah kugandrungi. Keduanya membuat hidup ini semakin berwarna. Oleh karena itu, aku bergabung dalam sebuah grup literasi guna mencari ilmu dan mulai belajar menekuni dunia kepenulisan. Tak pernah semenit pun terlewat tanpa membuka aplikasi Facebook, karena sadar banyak hal yang harus kupelajari dalam merangkai aksara. Kemampuanku masih jauh dari kata sempurna.


Mas Ryan--suamiku--sering uring-uringan melihat kebiasaan yang saat ini begitu menguras waktu dan perhatianku. Apa lagi setelah 'kenal' dengan seseakun, yang notabene owner dari grup kepenulisan yang lihai dalam mengolah kata, baik dalam bentuk puisi, prosa, ataupun cerpen. Pokoknya bisa dibilang, dia pria yang serba bisa. Tulisannya enak dibaca dan bikin meleleh siapa pun yang menikmati karyanya.


"Ehem ... ehem ... Sayaaangg, bisa nggak sih, kau luangkan sedikit saja, waktumu untuk kami berdua?" Suara Mas Ryan tiba-tiba mengejutkanku. 


"Eh, iya. Ada apa, Mas?" Sedikit grogi, aku tutup ponselku, lalu memandang ke arah Mas Ryan yang sedang menggendong Reyhan, buah cinta kami yang masih berumur satu tahun.


Reyhan adalah bayi lucu nan menggemaskan, pipinya yang gembil dan kemerahan, membuat siapa pun gemas dan ingin mencubitnya. Dia termasuk anak pendiam, tidak rewel seperti balita pada umumnya.


"Oouhh ... ayo cini ... cini, Cayang. Sama Mama, ya?" Aku segera mengambil alih Reyhan dari dekapan Papanya.


Mas Ryan tersenyum tipis, sambil geleng-geleng kepala. 


***


Sore ini, ada acara kopdar bareng teman-teman grup literasi, aku terpaksa bawa serta Reyhan, karena Mas Ryan belum pulang kerja.


Setelah acara foto-foto dan makan bareng serta ngobrol ngalor-ngidul, akhirnya kami berpisah dan berniat ketemu di lain waktu.


Sambil menunggu taksi di halte bus dekat gedung pertemuan, aku lihat lagi hasil foto-foto yang tadi sempat diabadikan teman-teman literasi. Sekilas mata ini menatap pria jangkung berambut gondrong yang tak lain owner dari grup AADC, yang berdiri tak jauh dari halte.


Meski ragu, tapi langkah kakiku terus mendekati pria kharismatik itu.


"Bang Petra," sapaku ragu.


Reflek dia menoleh dan tersenyum ke arahku. Jantung ini tiba-tiba bertalu. Suasana jadi kikuk dan aku benar-benar merasa canggung.


Cciiiittt ... braakk!!!


Aku dan Bang Petra serempak menoleh ke arah asal suara. Beberapa meter tak jauh dari tempat kami berdiri, kulihat kereta dorong warna hitam, di mana Reyhan tadi terbaring tidur dengan pulas, telah berada di bawah truck pengangkut semen, yang sekarang berhenti tepat di depan halte bus.


Aku masih kaget dan tak percaya, ketika teguran Bang owner menyadarkanku.


"Anakmukah?" Bang petra berjalan menjauhiku dan berlari kecil ke arah truk itu.


"Reyhaaan! Tidaaak! Nggak mungkin. Maafkan Mama, Sayaaang ...." Aku berlari menyusul Bang Petra sambil menangis, sebelum akhirnya gelap. 


*****

*******


Empat puluh hari kemudian ....


Semenjak kepergian Reyhan, putra kami satu-satunya, Mas Ryan berubah sangat drastis. Tak ada lagi panggilan sayang atau obrolan mesra nan hangat seperti biasanya. Semua terasa hambar. Kami seperti dua orang tak saling kenal, yang terpaksa hidup di bawah satu atap, karena terikat tali pernikahan yang kini terasa dingin dan kaku.


Apalagi, setelah Mas Ryan tahu, alasan kecelakaan tragis yang merampas buah cinta kami, karena keteledoranku dalam menjaganya. Setelah itu, laki-laki yang masih sah menjadi suamiku itu, jadi sering pulang larut malam, bahkan sampai menjelang subuh. Tak jarang, Mas Ryan pulang dalam keadaan mabuk dan pakaian yang acak-acakan. Bahkan, sering terlihat noda lipstik, menempel di leher atau pun pipinya.


Aku hanya mampu mengelus dada. Setidaknya, aku turut punya andil besar yang jadi penyebab suami tersayang, seperti orang frustrasi dan hilang akal. Meski tak pernah marah di depanku, tapi aku melihat dengan jelas, ada kobaran api yang membara, tiap kali kilatan matanya tak sengaja bersirobok denganku. Sekaligus ada luka menganga, yang dipendam sedemikian rupa, tapi aku mampu melihat dan merasakannya.


"Mas, aku mau bicara." Sedikit ragu, aku berusaha mengutarakan niatku, yang terpendam sejak meninggalnya Reyhan.


"Hmmm ...." Tanpa menoleh, Mas Ryan menjawab sapaanku.


"Apakah ... aku ... boleh aktif lagi di dunia kepenulisan, Mas?" Agak terbata, aku nekad mengatakannya, tanpa tahu jawaban apa yang dia berikan nantinya.


Mas Ryan menatapku sekilas, lalu sengaja menyibukkan diri dengan ponsel yang ada di tangannya.


"Bagaimana, Mas?"


Hening.


Aku tak berani bersuara, Mas Ryan beranjak dari duduknya lalu berjalan ke arah jendela.


Aku memandang punggungnya dengan perasaan tak karuan. Harap-harap cemas menanti jawaban dari Mas Ryan.


"Untuk apa minta ijin? Bukankah, selama ini, kau begitu aktif di beberapa grup literasi!" Nada suara Mas Ryan yang terdengar sinis dan meninggi, membuat darahku berdesir.


Aku menunduk. Kikuk.


"Apa kau lupa? Kebiasaan burukmu ikutan menulis, sudah merenggut nyawa Reyhan, ha?!" Muka Mas Ryan merah padam menahan amarah.


"Menulis bukanlah sesuatu yang buruk, Mas. Akulah yang patut dipersalahkan atas meninggalnya Reyhan, anak kita. Aku juga kehilangan, Mas! Kita sama-sama terluka." Bendungan air mataku jebol sudah, tak kuasa lagi menahan semua perih dan beban yang akhir-akhir ini begitu menghimpit dada.


"Ibu macam apa, kamu ini? Egois!" Mas Ryan mendekat ke arahku dengan tatapan mata berapi-api.


Aku mundur selangkah, lalu terduduk di sofa yang tepat berada di belakangku. Mas Ryan yang tinggi besar, berdiri tepat di depanku.


"Apa lagi yang kau cari, May? Ketenaran? Atau ... laki-laki yang suka menulis kata-kata gombal, seperti si Petra? Jawab!"


Deg!


Aku mendongak. Mencari tahu maksud dari kata-kata yang diucapkan Mas Ryan barusan. Tapi dia membuang muka dan mendengus dengan kasar.


Aku berniat berdiri, tapi Mas Ryan mendorongku, hingga terjerembab di atas sofa dengan kasar. Tidak ada yang sakit, tapi hatiku terasa perih. Empat tahun berumah tangga, baru sekali ini, Mas Ryan berbuat kasar dan mengucap kata-kata pedas, seperti tak berperasaan.


"Terserah, kau mau ngapain aja, May. Aku sudah tak peduli!" Setelah mengucap kata-kata menyakitkan hati, Mas Ryan ngeloyor pergi, masuk ke kamar dan membanting pintu dengan kasar. Braakk!


***

****


"Aku salut padamu, Maya. Di sela kesibukanmu sebagai seorang istri, kau masih sempat menyelesaikan novel sesuai waktu yang kita targetkan." Bang Petra tersenyum manis sambil menjabat erat tanganku.


"Waahh, jangan terlalu memuji, ini juga berkat bantuan Bang Petra, hingga novelku yang perdana ini bisa terealisasi." Sedikit malu-malu, aku berusaha menatap Bang Petra yang tengah sibuk mengedit naskah novelku.


"Semoga, pas launching nanti, suamimu bisa datang, dan keluarga kalian tetap bisa dipertahankan." Ucapan tulus Bang Petra sedikit menyejukkan hatiku.


"Aamiinn. Terima kasih, Bang."


"Sama-sama, Maya. Senang bisa bekerja sama dengan penulis berbakat sepertimu." Bang Petra tersenyum lembut. Matanya yang teduh menatap lekat ke manik mataku. 


Aku membuang muka, berusaha menyembunyikan desir halus yang tak pernah kutahu apa artinya.


"Oiya, Maya. Sudah jam tujuh nih, keluar cari makan malam, yuk." Suara Bang Petra membuyarkan lamunanku.


"Eh, iya, Bang. Hayuk." Aku segera berdiri, meraih tas selempang kesayangan dan berjalan ke arah jendela kantor percetakan milik Bang Petra.


"Kayanya mendung, Bang."


"Ada payung kok, tenang." Bang Petra tersenyum tertahan, membuat gemes siapa pun yang memandang. Saat dia membuat lengkungan halus di bibirnya yang tipis, serta merta matanya menyipit, dibarengi bertautnya sepasang alis tebal yang dia punya. 


Aku hanya tersenyum dan mengangguk ke arahnya.


***

******


Suasana kafe yang cozy dengan alunan musik jazz yang menenangkan, membuat pengunjung betah berlama-lama duduk di sini. 


Aku edarkan pandangan ke sekeliling. Ada beberapa pasang muda-mudi yang tengah menikmati makan malamnya. Ada rona bahagia terpancar dari wajah mereka. Jauh berbeda dengan keadaanku saat ini.


"Maya, kenapa sih, jadi murung begitu?" Pertanyaan Bang Petra sedikit mengejutkanku.


"Ah, nggak papa, Bang. Sudah hampir jam sembilan, nih. Aku bisa pulang duluan, kalau Bang Petra masih mau di sini." Aku bersiap berdiri, ketika mata ini melihat dua orang pengunjung kafe yang baru saja masuk. Tampak tangan pria itu melingkarkan lengannya di bahu wanita yang berjalan di sebelahnya.


Mata ini tiba-tiba memanas. Dadaku bergemuruh. Reflek aku menunjuk ke arah mereka. Dua manusia lawan jenis yang tampak begitu mesra.


"Siapa?" Bang Petra bertanya, sambil menoleh ke arah yang aku tunjuk.


Mulut Bang Petra ternganga.


"Itu Ryan, suamimu?" tanya Bang Petra lirih.


Aku hanya mengangguk.


Setelah mengambil ponsel yang terletak di atas meja, Bang Petra bermaksud menghampiri Mas Ryan yang telah mendapatkan tempat duduk.


"Jangan, Bang Petra! Biarlah, malu dilihat orang." Aku berusaha membujuk niatnya, perasaan ini semakin tak karuan, khawatir akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.


"Aku harus ke sana, Maya." Suara Bang Petra penuh penekanan. Rahangnya mengeras, menahan amarah.


"Aku mohon, Bang. Nanti saja kami selesaikan di rumah."


Bang Petra tak menggubris permintaanku. Langkahnya terayun ke arah meja, tempat Mas Ryan dan selingkuhanya berada.


"Reyna! Apa-apaan ini, ha?" Suara Bang Petra memenuhi seluruh ruangan kafe. Beberapa pengunjung memandang ke arah kami.


"Bang Petra, kenal perempuan ini?" tanyaku, tak percaya dengan ucapannya barusan.


"Bang Petra, juga di sini?" tanya perempuan yang dipanggil Reyna oleh Bang Petra.


"Kenapa? Nggak nyangka ya, kedokmu terbongkar malam ini?" Ucapan Bang Petra membuatku semakin bingung.


"Mas Ryan, siapa perempuan ini, Mas?" Sambil menahan buliran hangat yang akan merembes keluar dari mata ini, aku menarik tangan Mas Ryan, suamiku.


Mas Ryan terlihat kikuk. 


"Katakan, Reyna! Anak siapa yang sebenarnya kau kandung itu? Jawab!" Amarah Bang Petra semakin memuncak.


Aku mulai menyadari apa yang tengah terjadi. 


Reyna menunduk. Wajahnya sedikit pias.


"Bayi itu, anakku, Petra. Mana bisa pria mandul sepertimu bisa memberi keturunan!" Ucapan lantang Mas Ryan, membuatku terhuyung ke depan. Telinga ini masih tak percaya dengan apa yang aku dengar barusan.


Tiba-tiba Bang Petra melayangkan pukulan ke wajah Mas Ryan. Pria yang tak lama lagi menjadi mantan suamiku.


 Mas Ryan reflek mengusap sudut bibirnya yang berdarah, sambil menyeringai ke arah Bang Petra, yang bersiap memberikan pukulan selanjutnya.


"Cukup, Bang Petra! Jangan kotori tanganmu dengan menyentuh kulit manusia-manusia tak setia seperti mereka!" Aku segera meraih pergelangan tangan Bang Petra dan menyeretnya keluar kafe. Tak lagi aku pedulikan pandangan heran pengunjung kafe yang melihat pertengkaran kami berempat.


*****


Dua tahun kemudian ....


"Maya ...."


Reflek aku menoleh ke arah asal suara di belakangku. 


"Bang Petra ...."


Bang petralah satu-satunya orang yang memanggilku Maya. 


"Ilmunya tinggi ya, sekarang. Sudah pinter ngilang, tanpa pesan lagi." Sambil tersenyum menggoda, Bang Petra berjalan mendekatiku. 


Setelah tepat berada di depanku, tiba-tiba dia berjongkok dan meraih jemari tanganku, lalu mengecupnya lembut.


Aku hanya tersipu malu, mendapat perlakuan seperti itu, dari laki-laki yang sempat mengisi hari-hariku.


"Will you marry me?" tanya Bang Petra lembut.


Aku masih tak percaya dengan pendengaran ini.


"Harus berapa lama lagi aku bersimpuh seperti ini, ha?!"


Aku makin tersipu malu, lalu mengangguk, tanda setuju.


Tamat.


Setor Kak Dylara Tama 😊


PRG, 290121

Related Posts

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter