infoselebb.my.id: Cemburu Antar Saudara - INFO SELEB

Cemburu Antar Saudara

Posting Komentar

Dulu, ada masa aku sangat menginginkan kehadiran seorang adik. Dalam bayanganku, hari-hariku akan lebih lengkap dan berwarna dengan adanya adik dalam rumah mungil kami.


Namun, kenyataannya, sejak Mama melahirkan Dinda, adikku, entah kenapa aku merasa semua menjadi berbeda dan tidak sesuai ekspetasiku. 


"Ma, Rina mau gendong adik juga dong, Ma," pintaku saat itu.


 Mama menggendong bayi mungil yang katanya adikku. Hari itu Mama baru saja pulang dari Rumah Sakit setelah berhari-hari bolak-balik ke RS. Kata Papa, adikku lahir lebih awal dari waktu semestinya, sehingga ia harus dirawat dan Mama harus selalu siaga menjaganya, adikku butuh ASI yang banyak. 


"Jangan, Kak. Kakak masih kecil, nanti ya kalau sudah lebih besar." Begitu kata Mama melarangku. 


Aku bingung di saat lain Mama akan berkata "Kak, Kakak kan sekarang sudah besar, makan sendiri ya, pasti bisa," atau, "Kak, mandi sendiri, dong. Malu, ih, sudah besar dimandiin."


 Padahal aku merindukan sentuhan Mama, kami biasa bermain air bersama. Saat menyuapiku, Mama akan memberi motivasi seperti pesawat terbang yang akan masuk ke mulutku, Mama biasanya merayuku supaya mau menghabiskan dan makan yang banyak. 


Jadi, sebenarnya, aku masih kecil apa sudah besar? 


Sejak adikku lahir, Mama dan Papa lebih perhatian dengan adikku. Saat aku bermain dengan tetangga, sedikit-sedikit mereka akan mengingatkanku, "Sst ... mainnya jangan berisik, Adik sedang tidur!"


Bahkan, Mama kadang membentakku. 

"Kakak! Adik baru saja tidur! Mama mau makan sebentar saja kenapa adik sudah bangun?! Kaka berisik pasti!"


 Ada yang tercubit di dalam sini saat merasa aku telah diabaikan. Aku tidak mengerti mengapa mereka jadi lebih sering marah padaku sejak adikku lahir. 


Padahal jauh hari sebelum kelahirannya, kupikir dengan keberadaannya akan membuat teman bermainku semakin banyak dan seru. Tapi ternyata, teman-temanku lebih suka jika aku tidak membawa adikku. 

"Rin, adikmu ga usah diajak ya. Kita jadi ga bisa sepedaan jauh-jauh."


"Rin, besok adikmu tinggal saja di rumah. Dia berantakin mainan kita terus, capek, ih."


Sejak ada adik, seperti ada beban yang diberikan ke pundakku. Di rumah, aku diminta untuk menjaga Dinda yang mulai bisa berjalan dan berlari, sementara Mama sibuk di dapur atau ke kamar mandi. Aku jadi tak bisa bebas bermain seperti sebelumnya. 


Saat tiba waktuku bermain, banyak sekali petuah Mama tentang adikku. Jika adikku menangis, aku adalah orang pertama yang akan disalahkan Mama tanpa mau mendengar penjelasanku lebih dulu. 


Perlahan-lahan aku mulai membenci sosok Dinda yang semakin membesar justru menciptakan jurang di antara kami. Masih kuingat jelas kalimat para tante dan om di saat acara kumpul keluarga. 


"Rina sama Dinda kok beda banget, sih. Dinda putih, cantik, Rina kok hitam? Kebanyakan maen di lapangan ni mesti."


"Dinda tuh anak rumahan banget ya. Beda sama Rina yang maunya maen keluar terus. Klo disuruh-suruh bantah terus, tapi kalau Dinda, penurut banget."


Aku diam di sudut ruangan tanpa ada yang bertanya, mengapa dan ada apa. Tak ada yang bisa mengerti perasaanku yang teremas perih, tapi tak berdarah. 


-------


Ketika SMU, aku dan Dinda disekolahkan di tempat yang sama. Aku kelas tiga dan Dinda baru saja jadi siswa baru di kelas satu. Ejekan teman-teman saat kami di SMP dulu masih hangat di telingaku. Ejekan yang sama, membandingkanku dengan Dinda, untuk yang ke sekian kalinya. 


"Rin, itu adikmu, ya?" tanya seorang teman saat Dinda datang ke kelas meminjam mukena, lupa bawa katanya. 


"Bukan! anak tetangga," jawabku ketus. Setiap melihat wajahnya, rasa cemburuku terhadapnya menggelora. Ada panas di dada yang belum hilang sejak dulu. Aku lelah dibandingkan. Biarlah, di bangku SMU tidak ada yang boleh mengetahui bahwa kami bersaudara. 


"Mulai besok, jangan ke kelasku lagi. Sudah besar kok masih mengandalkan saudara. Malu, tau," ucapku sinis pada Dinda ketika kami sudah di rumah. 


Bisa kulihat netranya membasah, ada riak sedih di wajahnya. Tapi aku tidak peduli, cukup sudah aku menderita sejak kehadirannya. 


----------


Tahun demi tahun berlalu, kami sudah dewasa dan sudah menikah. Suatu sore, akhirnya aku pulang ke rumah dari RSIA Buah Hati, Ciputat.  Aku menggendong Mayra, buah hatiku yang kedua. Sudah empat hari sejak melahirkan secara caesar, Namira si sulung, kutinggalkan di rumah bersama Dinda, adikku. 


Sebagai ibu dua anak, mengurus segala sesuatunya sendirian ternyata tidak mudah. Meski suamiku banyak membantu, tapi aku masih beradaptasi dengan kondisi tubuh yang sedang masa pemulihan dan Namira yang sedang aktif-aktifnya di usianya yang ketiga. 


"Ma, ayo bacakan buku," pinta Namira suatu malam. Kami memang terbiasa membaca buku atau dongeng sebelum tidur. Kebiasaan yang kubangun sejak ia bayi. Kebiasaan yang sudah berkurang rutinitasnya sejak Mayra, adik Namira lahir. 


"Mama lelah, Nak. Besok saja, ya," ucapku dengan mata hampir terpejam. Tapi Namira tidak menyerah, ia mengguncang tubuhku untuk bangun.


"Mama, kan, sudah janji, kemarin juga bilangnya begitu," katanya sambil terus menggoyang tubuhku hingga aku benar-benar terganggu. 


"Namira! sudah malam, tidur!" titahku. 


Namira terkejut, lalu tatapannya berubah sendu. Di kamar yang cahayanya temaram, bisa kulihat buliran air matanya yang awalnya menggenang, meluncur mulus di pipinya. 


"Aku tidak suka punya adik! Mama berubah!" ucapnya sambil terisak. Ia lalu memunggungiku dan menarik selimut hingga menutupi tubuhnya yang mungil. Di balik selimut masih bisa kulihat bahunya yang berguncang. 


Aku tercengang, rasa kantukku seketika hilang, berganti dengan perasaan menyesal yang menggunung. Kupeluk Namira dari belakang. Ia adalah si sulungku, gadis kecil cinta pertamaku yang memanggilku dengan sebutan Mama. Sebutan dalam arti yang sebenarnya. 


Di balik punggungnya aku merasakan sesak yang sama, kecewa. Netraku memanas, rasa hatiku seperti dilolosi satu per satu. Seharusnya aku tidak melakukan kesalahan yang sama. 


Aku seperti merasakan de ja vu 'kilas balik' pada masa lalu. Ingatanku melambung ke masa-masa saat aku dan Dinda berjuang menjadi sarjana. Saat kami masih menjadi perantau di pulau seberang, kami pernah bertengkar hebat. 


"Kenapa kamu pulang malam begini? Kalau ada apa-apa denganmu, aku yang dimarahin Mama, tau?!" Suaraku meninggi di tengah malam yang sunyi. Aku sangat marah waktu itu, Dinda pergi hingga pulang larut malam tiba di kos-an.


"Cukup, Kak. Aku lelah berada di bawah bayanganmu. Aku bisa menjaga diri. Tadi motorku dipinjam teman hingga aku harus menunggu," jelasnya. 


"Asal Kak Rina tau, aku iri sama Kaka yang banyak di beri kebebasan sama Mama. Tapi aku? harus selalu diawasi dan ga pernah diberi kesempatan membuktikan bahwa aku bisa." 


"Kenapa Kakak marah hanya karena takut amarah Mama? Kenapa Kaka bukan khawatir karena aku adikmu? Kapan Kakak mau menganggapku benar-benar Adik?"


Curahan hatinya yang beruntun dengan penuh emosi seperti membuat kepalaku dibenturkan ke tembok. Aku tidak pernah mengetahui pikiran dan perasaannya sejauh ini. 


"Biarkan aku melangkah dengan caraku, aku hanya sedang mengikuti lomba karya ilmiah. Maaf membuatmu khawatir," lanjutnya lagi dengan genangan telaga air mata yang hampir tumpah. 


Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku memeluknya. Untuk pertama kalinya aku ingin ia benar-benar merasakan bahwa kami adalah bersaudara. 


Pertengkaran malam itu, adalah titik balik hubunganku yang selama ini berjarak dengan adikku.


Saat itu, aku berjanji. Jika aku punya anak, tak akan kubanding-bandingkan, tak akan kuabaikan meski harus lelah dan berbagi hati. 


Hingga malam ini, pernyataan anak sulungku, menamparku dari segala sisi. 


Bintaro, 25 Januari 2021.

Related Posts

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter