infoselebb.my.id: BUAH HATI YANG TAK DIINGINKAN - INFO SELEB

BUAH HATI YANG TAK DIINGINKAN

Posting Komentar

"Selamat, Sayang. Rara akan punya adik lagi," ujar Mas Ranu padaku. Dapat aku lihat, pancaran bahagia di wajah teduhnya. Senyum selalu menghiasi lengkung manisnya. Sementara aku, hanya dapat tersenyum kecut menanggapi ucapan suamiku itu.


"Jaga baik-baik ya," lanjutnya, mengelus pelan perutku. Ah, andai saja bisa, ingin aku menepis tangan itu dari sana.


Bagi kebanyakan orang, kehamilan adalah hal yang ditunggu-tunggu. Namun, tidak denganku. Aku bahkan menyesal, kenapa harus lupa mengkonsumsi pil KB hingga membuat dia bersemayam dalam rahimku. Bukan apa-apa, Rara masih terlalu dini untuk memliki adik. Usianya baru memasuki angka dua, tetapi dia harus berbagi kasih sayang dengan calon adiknya. Ah ... aku tak bisa membayangkan bagaimana hatinya terluka.


*****


Kehamilan kali ini, tak ada kendala apa pun. Bahkan tergolong sangat lancar. Beberapa kali aku mencoba melenyapkan janin ini, Allah tak mengizinkan. Dia selalu selamat.


Hingga tiba waktunya aku melahirkan. Pagi itu, aku menitipkan Rara pada Ibu. Mas Ranu menjadi suami siaga. Beliau mendampingi persalinanku, sama seperti dulu waktu melahirkan Rara.


"Selamat ya, Bu, bayinya perempuan. Sehat," ujar bidan yang menolongku.


Aku hanya menanggapinya dengan anggukan. Tak ada rasa bahagia sama sekali dalam diriku, yang hadir hanyalah kebencian. Ya, aku membenci bayi yang telah kukandung selama sembilan bulan.


"Sayang, makasih, ya." Mas Ranu mencium puncak kepalaku.


"Iya, Mas."


Karena kondisiku berangsur membaik, sore itu juga aku diperbolehkan pulang. Dengan catatan kembali kontrol satu minggu kemudian.


*****


"Dek, kamu yakin mau mandiin bayi kita?" tanya Mas Ranu, ketika aku akan memandikan Dita. 


"Iya, Mas. Aku bisa, kok. Lagian, uang buat bayar orang bisa buat keperluan lain," jawabku. Kondisi ekonomi yang belum stabil, membuat kami harus berhemat. Pasalnya, usaha Mas Ranu sedang mengalami masalah. Itulah sebabnya, aku memilih memandikan Dita sendiri daripada membayar orang.


"Oke, hati-hati!" ujar Mas Ranu. Kemudian, berlalu dari hadapanku.


Aku pun mulai memandikan Dita. Awalnya sedikit ragu, tetapi aku selalu meyakinkan hati. Bismillah. Ini anak kedua, harusnya aku sudah bisa.


"Innalillahi!" pekikku. Ketika Dita terlepas dari tanganku. Bayi malang itu terjatuh saat aku hendak mengeluarkannya dari bak mandi. Tangisnya pecah, tetapi detik berikutnya dia terdiam.


"Maaas!" teriakku, memanggil Mas Ranu.


Beberapa detik kemudian, Mas Ranu sudah berada di hadapanku.


"Ada apa, Dek?" tanyanya terlihat panik.


"Di-Dita, Mas," jawabku tergagap, sembari memeluk tubuh Dita yang kubalut dengan kain.


"Kenapa, Dek? Ada apa?" Mas Ranu benar-benar panik.


Aku menggoyang-goyangkan tubuh kecil itu. Namun, dia hanya diam. Bahkan, tangisnya tak juga terdengar.


"Innalillahi ...," ucap Mas Ranu, setelah memeriksa napasnya. Tubuhnya luruh di lantai, seiring suara tangis yang keluar dari mulutnya.


"Nggak ... nggak mungkin!" seruku. Masih mendekapnya.


Tuhan ... inikah cara-Mu menegurku? Mengambilnya karena aku telah lalai akan nikmat yang Kau beri. Aku tak menerimanya sebagai rezeki dari-Mu. Maka, Kau ambil kembali dia dariku.


*****


"Maafkan Ibu, Nak. Ibu telah bersalah karena sempat tak menginginkanmu. Ibu berdosa karena lalai menjagamu," ujarku sembari memeluk nisan bertuliskan nama Dita.


Usapan lembut di lenganku, memmbuatku menoleh ke arah Mas Ranu. Lelaki itu mengangguk, memberi isyarat agar segera bangkit.


"Ikhlaskan, Sayang," ujarnya.


Sore itu, saat langit terbalut awan hitam. Aku meninggalkan anakku di sana. Terbalut kain putih di ruang gelap tanpa teman. Semua itu, terjadi karena kesalahanku. Hanya demi uang, aku harus menebusnya dengan nyawanya.


Timit.


Kamar Tidur, 29 Januari 2021

Related Posts

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter